Manusia merupakan makhluk individu yang memiliki akal, budi, dan pikiran. Dalam kehidupan sosialnya, manusia perlu berlatih dan belajar sejak mulai lahir hingga dewasa. Salah satu tempat berlatih dan belajar yaitu “sekolah” yang merupakan lembaga pendidikan formal sebagai pembentuk dan mengembangkan potensi serta pengetahuan individu. Pendidikan (Opvoeding) umumnya dalam arti khusus memiliki beragam jenis pengertian sesuai dengan tiap-tiap aliran hidup. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan diartikan sebagai “tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak”. Maksud pendidikan yaitu menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar tentu anak-anak mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.
Menuntun Sebagai Transformasi Pendidikan
Lembaga pendidikan bertujuan untuk membantu anak-anak memenuhi kodratnya yaitu mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya sebagai manusia dan anggota masyarakat. Dalam menuntun laku dan pertumbuhan kodrat anak-anak, lembaga pendidikan oleh Ki Hajar Dewantara mengibaratkan peran pendidikan seperti seorang petani atau tukang kebun. Anak-anak itu seperti biji tumbuhan yang disemai dan ditanam oleh pak tani di lahan yang disediakan. Anak-anak itu bagaikan bulir-bulir jagung yang ditanam. Bila biji jagung ditempatkan di tanah yang subur dengan mendapatkan sinar matahari dan pengairan yang baik, maka meskipun biji jagung adalah bibit yang kurang baik atau kurang berkualitas maka dapat tumbuhan dengan baik, karena perhatian dan perawatan dari pak tani. Demikian sebaliknya, meskipun biji jagung itu disemai adalah bibit yang berkualitas baik namun tumbuh di lahan yang gersang dan tidak mendapatkan pengairan dan cahaya matahari serta “tangan dingin” pak tani, maka biji jagung itu mungkin tumbuh namun tidak akan optimal. Nah, itulah peran lembaga pendidikan dalam hal ini sekolah.
Dalam proses “menuntun” anak diberi kebebasan namun pendidik dalam hal ini guru di lembaga pendidikan sebagai pamong dalam memberi tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Seorang “pamong” dapat memberikan “tuntunan” agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar. Anak juga secara sadar memahami bahwa kemerdekaan dirinya juga mempengaruhi kemerdekaan anak lain. Oleh sebab itu, tuntutan seorang guru atau pendidik di lembaga pendidikan dalam hal ini sekolah harus mampu mengelola dirinya untuk hidup bersama dengan orang lain dan menjadi manusia dan anggota masyarakat. Ki Hajar Dewantara mengingatkan para guru untuk tetap terbuka namun tetap waspada terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, “Waspadalah, carilah barang-barang yang bermanfaat untuk kita, yang dapat menambah kekayaan kita dalam hal kultur lahir atau batin. Jangan hanya meniru. Hendaknya barang baru tersebut dilaraskan lebih dahulu”. Artinya “barang-barang” sebagai simbol dari tersedianya hal-hal yang dapat kita tiru, namun selalu menjadi pertimbangan bahwa Indonesia juga memiliki potensi-potensi kultural yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar.
Tipe Pemimpin dalam Talent Mapping
Penyesuaian jaman kepemimpinan sangat penting, karena bertemu dengan generasi saat ini. Tipe pemimpin dalam talent mapping yaitu commanding leader, pace-setting leader, affiliative leader, democratic leader dan coaching leader. Commanding leader yaitu pemimpin dengan tipe mengancam, mengontrol ketat, mengamati dengan cermat, menciptakan ketidakkonsistenan, membuat perasaan hati semua orang terganggu, bakat yang diabaikan, dan menenangkan orang dengan memberikan arah jelas dalam situasi darurat. Pace-setting leader mempunyai kekhasannya berupa keinginan memiliki keberhasilan yang tinggi, standar pribadi yang tinggi, inisiatif, empatik maupun kolaborasi yang jarang dilakukan, tergesa-gesa, mengatur hal-hal rinci, tertarik dengan angka, menyukai tujuan yang menantang, dan tentu tipikal ini sesuai untuk mendapatkan hasil berkualitas tinggi dari tim yang kompeten dan bersemangat. Affiliative leader memiliki ciri harmoni selalu dipromosikan, empatik, bersahabat, moral yang selalu diangkat, konflik diselesaikan dahulu, penyesuaian untuk memperbaiki perbedaan yang ada dalam tim kerja, memberi motivasi di saat menegangkan, dan memperkuat ikatan/hubungan. Democratic leader adalah pendengar yang hebat, pekerja tim, kolaborator, memberi pengaruh, menghargai pendapat orang, mendapatkan komitmen melalui partisipasi, dan tipe ini sesuai untuk membangun dukungan.
Coaching Leader
Coaching Leadership merupakan proses pengembangan terhadap potensi karyawan oleh seorang pemimpin dengan menggunakan metode coaching, untuk membantu mereka mencapai tujuan dan menjadi pekerja yang efektif, berkualitas, efisien, dan inovatif. Coaching leader adalah pemimpin yang mau mendengar untuk memahami, memiliki kerendahan hati, memberdayakan orang lain, mampu membantu orang menemukan kekuatan dan kelemahannya, memberikan umpan balik yang tepat, memberikan tantangan ke masa depan dan dorongan untuk mencapainya.
Kesimpulan
Coaching leader tentu sangat tepat dalam dunia lembaga pendidikan, terutama pendidik, guru, dan tentu kepala sekolah sebagai seorang pemimpin di sekolah. Kepala sekolah tipe coaching leader akan lebih tepat menghadapi generasi milenial, generasi z dan bahkan generasi alpha yang membutuhkan tantangan teknologi dan sering menemukan inovasi. Generasi milenial yang dihadapi oleh kepala sekolah sebagai coaching leader adalah guru yang baru selesai lulus dan langsung bekerja di sekolah, guru di universitas masih kuliah dalam rangka magang, siswa siswi sekolah mulai dari taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan sekolah menengah, dan bahkan para orang tua. Kepala sekolah coaching leader menuntun guru, karyawan, siswa, orang tua generasi milenial untuk mampu menyusun strategi dan mengeksekusi strategi mereka sendiri dengan manajemen waktu yang baik dengan menemukan kekuatan dan kelemahan mereka sendiri, serta mampu menghubungkan hal-hal yang dibutuhkan selama belajar dan mengajar. Kepala sekolah tipe coaching leader akan menuntun guru, karyawan, siswa, orang tua semakin bersemangat dan kompeten sehingga talenta, pengetahuan, keterampilan, sikap, dan kemampuan digali secara tak langsung (non-directive) dan kepala sekolah melakukan kepemimpinan dari belakang (leading from behind). Hal tersebut sejalan dan sesuai dengan nilai transformasi sekolah sehingga sekolah lebih humanis mengedepankan sikap, karakter, dan sosial setinggi-tingginya.