Oleh: L. Wahyu Candrawati
“Ayo, kita main monopoli, Pak!” suara Arya memecah konsentrasi ayahnya yang sedang serius membaca buku di teras rumah.
“Iya, Pak. Sudah lama kita tidak main bareng karena aku dan Kak Arya banyak tugas dari sekolah,” sambung Titi sebelum Bapak sempat menjawab ajakan kakaknya.
“Main monopoli lagi? Nggaklah! Kita ganti main yang lain. Bapak punya permainan baru yang lebih seru,” terang Bapak, “Namanya, Berpacu dalam Kata.”
“Tapi kalau permainannya kalah seru daripada monopoli, kartu UNO, atau bersepeda, mainnya sebentar saja lho, Pak!” sahut Arya.
“OK, OK,” janji Bapak, “tapi mari kita coba dulu permainan baru yang akan Bapak tawarkan.”
Bapak pun mengajak mereka berdua duduk melingkar di lantai. Belum sempat bapak menjelaskan permainan barunya, tampak Wisang berjalan menghampiri mereka dan menyapa,
“Halo, Pak Didik, Kak Arya, Titi! Sedang main apa? Aku ikut, ya!”
“Ya, boleh. Sini duduk. Permainan akan segera dimulai,” jawab pak Didik.
“Permainannya sederhana saja. Bapak akan mengucapkan satu kata dan masing-masing dari kalian membuat kalimat dengan kata tersebut. Jelas?”
“Siap!” jawab ketiga anak itu hampir bersamaan.
“Kata pertama adalah Kucing. Ayo, siapa duluan yang akan membuat kalimat?”
“Aku!”, sergah Wisang dengan cepat, “Ada seekor kucing di depan rumahku.”
“Aku takut kucing.” sambung Titi.
“Kucing itu melompati pagar rumahku” jawab Arya terakhir.
“Sip! Sekarang giliran Wisang untuk menjawab pertanyaan. Milik siapakah kucing yang ada di depan rumahmu?” tanya Pak Didik.
Wisang mengerenyitkan dahinya, “Mmmh, siapa ya? Mungkin kucing itu milik Mbah Welas, simbahnya Bayu.”
“Sekarang giliran Titi. Mengapa kamu takut kucing?”
“Karena matanya kuning menyala. Mengerikan seperti orang marah!” jawab Titi cepat.
“Oke. Sip! Sekarang dua pertanyaan untuk Arya. Apa warna kucing itu dan mengapa dia melompati pagar?”
“Huuh, curang, mosok pertanyaan untukku dua?!” protes Arya.
“Kamu kan anak paling besar, sudah kelas 5, Titi dan Wisang kan baru kelas 2. Wajar dong kalau kamu dapat 2 pertanyaan!” jelas Pak Didik.
“Kucing itu warnanya putih dan karena dia hendak menerkam tikus!” jawab Arya kemudian.
Wisang yang sudah tidak sabar menerka arah permainan itu pun bertanya,
“Stop dulu, Pak! Habis ini apa? Permainan kok aneh?”
“Ini permainan tingkat tinggi, Sang! Permainan calon orang hebat!” sahut Pak Didik sambil tertawa penuh rahasia, “Maka ikuti dulu saja.”
“Yo wes, yo wes. Pak Didik ki senengnya penuh rahasia.”
Sambil membetulkan letak kacamatanya, pak Didik melanjutkan percakapannya,
“Dengarkan baik-baik, ya! Ada seekor kucing di depan rumahku. Aku tidak tahu milik siapa kucing itu. Kucing itu mungkin milik mbah Welas, nenek Bayu. Titi, tetangga samping rumahku, sangat takut pada kucing. Menurutnya, mata kucing yang kuning menyala amat menyeramkan. Tiba-tiba kucing putih itu melompat cepat. Ia melompati pagar dan hop! Ia menerkam seekor tikus yang bersembunyi di balik tong sampah.”
“Woalah.., aku tahu sekarang!” teriak Titi, “Bapak sebenarnya nyuruh kita buat cerita daripada nonton TV atau main HP, kan ?”
“Yuhuu! Pak Didik ketahuan!”, sambung Wisang seraya memperlihatkan wajah geli.
Bapak pun tertawa setelah tujuan utama permainan itu ketahuan.
“Tapi ternyata asyik juga kok. Aku lanjutkan ceritanya ya, Pak!” pinta Wisang,
“Tong yang penuh sampah itu terbalik dan kotorannya menyelimuti seluruh badan kucing. Iiih.., jijik! Aku segera meraih selang air dan menyemprot kucing itu. Kucing itu terkejut dan lari secepat kilat. Aku baru sadar, ternyata kucing takut air.”
“Hore! Ceritanya bagus! Besok ditulis di buku ya!” puji pak Didik sambil bertepuk tangan diikuti Arya dan Titi yang tertawa gembira.
“Kata yang kedua adalah semangka.”
“Buah semangka adalah buah kesuka...”, belum sempat Arya menyelesaikan kalimatnya, terdengar suara Ibu dari dapur,
“Mas Arya! Ayo halaman depan disapu dulu! Dek Titi mandi dulu sudah sore!”
“Iya, sebentar!” jawab Arya, “Ssst.., ayo Pak, kita lanjutkan dulu.”
Bapak setuju untuk melanjutkan permainan barunya itu yang ternyata semakin menarik bagi mereka. Sorak-sorai dan tawa mewarnai keasyikan mereka sore itu.
Namun tiba-tiba, “Mas Arya! Dek Titi!”, teriakan suara ibu kembali terdengar, “harus berapa kali ya Ibu bicara?”
“Mengapa nada suara Bu Ninik meninggi?”, tanya Pak Didik dengan nada jenaka.
Wisang spontan menyahut, “Karena kak Arya dan Titi tidak ...,”
“Hussh, sudah, sudah. Jawabannya disimpan dulu untuk cerita besok,” Pak Didik memotong perkataan Wisang seraya tersenyum.
“Sekarang Arya menyapu dulu dan Titi mandi. Kamu juga pulang dulu, Sang! Nanti kalau papa mamamu pulang kantor dan kamu tidak di rumah, mereka bingung, lho!” lanjut pak Didik pada mereka bertiga.
“Oke, Pak. Besok kita main ini lagi, ya! Daah, daah Pak Didik, Titi, Kak Arya!”, pamit Wisang.
Sambil berlari kecil menuju ke rumahnya, Wisang tersenyum sendiri, membayangkan sebentar lagi akan terbit buku karangannya yang berjudul “Ceritaku dari Teras Rumah”.